SERU! Pedang Yang Bergetar Saat Menyentuh Dosa Lama

Pedang yang Bergetar Saat Menyentuh Dosa Lama

Aula Emas Istana Bulan Purnama berkilauan di bawah ratusan obor yang menyala. Namun, keindahan itu tak mampu menutupi aura MENGENASKAN yang menyelimuti setiap sudutnya. Tatapan tajam para pejabat, setajam bilah pedang, menyapu setiap gerakan. Di balik tirai sutra yang megah, bisikan pengkhianatan berdesir, membawa aroma racun dan ambisi.

Di tengah pusaran intrik itu, berdirilah Pangeran Mahkota Li Wei, pewaris takhta yang dingin dan perhitungan. Tatapannya sering kali tertuju pada seorang wanita di antara kerumunan – Bai Lian, selir kesayangan Kaisar. Kecantikannya bagaikan bunga teratai di tengah lumpur, namun di balik senyumnya yang memikat, tersembunyi rahasia kelam.

Cinta mereka, atau ilusi cinta, adalah permainan takhta yang mematikan. Setiap janji adalah pedang, setiap sentuhan adalah intrik. Li Wei membutuhkan Bai Lian untuk mengendalikan ayahnya, Kaisar yang semakin renta dan paranoid. Bai Lian, di sisi lain, melihat Li Wei sebagai satu-satunya jalan keluar dari kandang emas yang mengurungnya.

"Aku akan memberikanmu dunia, Lian," bisik Li Wei suatu malam, jemarinya menggenggam erat tangan Bai Lian di taman istana yang diterangi rembulan.

"Dunia yang dibangun di atas mayat?" balas Bai Lian dengan nada dingin, namun matanya menyimpan kerinduan yang mendalam.

Hubungan mereka adalah tarian berbahaya di atas jurang pengkhianatan. Li Wei, dengan ambisi membara, kerap kali meremehkan Bai Lian. Ia melihatnya hanya sebagai bidak, lupa bahwa bahkan bidak pun bisa menjadi RATU.

Bertahun-tahun berlalu, intrik istana semakin menggila. Kaisar jatuh sakit, dan Li Wei semakin gencar merebut kekuasaan. Ia mengkhianati Bai Lian, menikahi putri seorang jenderal berpengaruh demi memperkuat posisinya.

Saat itulah, Bai Lian yang selama ini dianggap lemah, menunjukkan kekuatannya yang sesungguhnya.

Di malam penobatan Li Wei sebagai Kaisar, racun yang mematikan telah mengalir dalam anggurnya. Bai Lian, dengan elegan dan dingin, berdiri di samping singgasana, menyaksikan Li Wei merenggang nyawa.

"Kaulah yang mengajariku, Yang Mulia," bisik Bai Lian, suaranya seperti desiran angin musim gugur. "Bahwa cinta sejati hanyalah kelemahan. Kekuatanlah yang abadi."

Balas dendamnya sempurna. Ia menghancurkan Li Wei bukan dengan kekerasan, melainkan dengan KEANGGUNAN dan INTELIGENSI. Istana Bulan Purnama, yang selama ini menjadi saksi bisu intrik dan kejahatan, kini menyaksikan babak baru dalam sejarahnya.

Dan saat Bai Lian, dengan senyum misterius, melangkah menuju singgasana yang kosong, hembusan angin berbisik… sejarah baru saja menulis ulang dirinya sendiri, dalam DARAH.

You Might Also Like: 52 Henry Moore Sculptor Who Achieved

Post a Comment