Cerita Seru: Senyum Yang Mengantarku Ke Penyesalan

Senyum yang Mengantarku ke Penyesalan

Kabut menggantung rendah di lereng Gunung Huangshan, menyelimuti hutan pinus yang membisu. Suara serangga malam terdengar seperti bisikan rahasia, bergema di antara tebing curam. Di dalam istana megah, lorong-lorongnya yang dingin seolah menyimpan memori yang tak ingin diungkap. Di sanalah, sosok itu berdiri.

Lima belas tahun berlalu sejak Kaisar Xuan dinyatakan tewas dalam pemberontakan berdarah. Lima belas tahun, rakyat Tiongkok berkabung. Lima belas tahun, Permaisuri Lian menunggu. Namun, malam ini, di lorong yang disinari obor remang-remang, ia berdiri di hadapan seorang pria yang sangat mirip dengan mendiang suaminya.

"Kau… Xuan?" bisik Permaisuri Lian, suaranya bergetar.

Pria itu tersenyum. Senyum yang familiar, namun terasa begitu asing. Senyum yang dulu selalu menghangatkan hatinya, kini menusuk bagai ribuan jarum.

"Sudah lama, Lian," jawabnya, suaranya rendah dan merdu, bagai alunan kecapi yang memilukan. "Kau terlihat… sehat."

Permaisuri Lian mundur selangkah. "Kau seharusnya mati. Mereka bilang… pemberontakan…"

Pria itu tertawa pelan, tawa tanpa nada bahagia. "Pemberontakan? Sayangku, pemberontakan hanyalah… panggung."

Ia mendekat, gerakannya anggun bagai tarian naga. "Selama bertahun-tahun, kau bertanya-tanya mengapa aku, seorang Kaisar yang dicintai rakyat, bisa dikalahkan oleh sekelompok pemberontak?"

Lian tak menjawab, matanya terpaku pada senyum yang kini terasa seperti topeng.

"Jawabannya sederhana, Lian. Aku membiarkannya. Aku yang merencanakannya. Aku yang membuka pintu gerbang istana bagi mereka."

Permaisuri Lian menggelengkan kepala, air mata mulai membasahi pipinya. "Tidak… itu tidak mungkin. Kenapa? KENAPA?"

"Karena kekuasaan sejati tidak terletak pada tahta, Lian. Kekuasaan sejati adalah memiliki kendali atas narasi. Atas takdir." Ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Lian dengan lembut. "Kau selalu percaya aku korban, bukan? Kau selalu mengasihani dirimu sendiri sebagai seorang janda yang berduka."

Ia terdiam sejenak, menatap jauh ke dalam mata Lian. "Padahal, kau hanyalah bidak dalam permainanku. Permainan yang kubuat sendiri. Permainan yang… menyenangkan."

Senyumnya semakin lebar, senyum yang mengantarkan Permaisuri Lian pada penyesalan terbesarnya. Senyum seorang Kaisar yang kembali dari kematian, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menunjukkan bahwa dialah yang memegang pisau, sejak awal.

Di tengah keheningan malam yang mencekam, sebuah kesadaran pahit merayapi jiwa Permaisuri Lian. Ia menyadari, selama ini ia hidup dalam ilusi yang indah, ilusi yang diciptakan oleh pria yang dicintainya. Dan kini, ilusi itu hancur berkeping-keping, meninggalkan dirinya seorang diri di tengah reruntuhan kebenaran yang kejam.

Dan saat itulah, ia menyadari, bahwa dirinya telah menjadi mahkota di tangan seorang raja yang sudah lama merencanakan kejatuhannya.

You Might Also Like: Jualan Kosmetik Jualan Online Mudah

Post a Comment