Aku Adalah Kesalahan Sistem Yang Masih Membuatnya Tersenyum
Lorong Istana Giok itu sunyi, bahkan bisikan angin pun terasa berdosa mengganggu keheningannya. Aroma cendana dan darah berpadu, menciptakan wewangian yang menyengat hidung, mengingatkan akan kejatuhan dinasti dan rahasia yang terpendam di balik dinding-dinding berlumut.
Lima belas tahun. Lima belas tahun lamanya aku dinyatakan mati. Tenggelam di Danau Bulan Sabit, korban dari konspirasi istana. Namun, di sini aku berdiri, bayangan di tengah rembulan, menatap punggungnya. Kaisar Li Wei.
Dia, yang dulu menangisi kepergianku di tepi danau, kini berdiri tegak, memegang cawan arak di tangannya. Cahaya bulan menari di jubah naganya, menyembunyikan kerutan lelah di wajahnya.
"Kau kembali, Bai Lian," ucapnya tanpa menoleh. Suaranya pelan, namun menggema di keheningan malam.
Aku mendekat, langkahku ringan seperti kabut yang menari di puncak Gunung Tai Shan. "Apakah kau senang, Yang Mulia?"
Dia berbalik, matanya menatapku intens. "Senang? Setelah lima belas tahun, kau bertanya apakah aku senang? Kau adalah luka yang tak pernah sembuh, Bai Lian. Hantu yang terus menghantui mimpiku."
"Benarkah?" Aku tersenyum tipis. Senyum yang dulu sangat disukainya. "Atau, jangan-jangan... kau merindukan permainan yang kita mainkan?"
Dia meneguk araknya, pandangannya menerawang. "Permainan? Kau menyebutnya permainan? Mereka membunuhmu, Bai Lian! Atas perintah siapa, kau tahu betul."
"Tentu saja aku tahu," bisikku, mendekat hingga napasku terasa di pipinya. "Atas perintahmu, Kaisar. Tapi, kau lupa satu hal. Aku bukan hanya selir kesayanganmu. Aku adalah anak dari Kepala Penjaga Istana. Aku tahu setiap lorong rahasia, setiap jalan keluar, setiap kode rahasia. Aku tahu bagaimana cara memalsukan kematian, bagaimana cara menghilang, dan bagaimana cara kembali."
Matanya memancarkan amarah yang bercampur dengan ketakutan. "Kau... kau merencanakan ini semua?"
Aku tertawa pelan, tawa tanpa kehangatan. "Aku hanya memainkan peran yang kau berikan. Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa istana ini adalah panggung sandiwara? Dan aku, hanyalah boneka yang menari mengikuti irama musikmu?"
"Mengapa?" tanyanya lirih, suaranya bergetar. "Mengapa kau melakukan ini padaku?"
Aku mengangkat tanganku, menyentuh pipinya dengan lembut. "Karena kau pikir kau bisa mengendalikan semuanya. Karena kau pikir kau bisa membuangku seperti sampah setelah aku membantumu naik takhta. Karena kau lupa, Yang Mulia, bahwa bahkan kesalahan sistem pun bisa memiliki rencana sendiri."
Dia menatapku, mata kita terkunci dalam keheningan yang memekakkan. Lalu, dia tersenyum. Senyum yang sama yang selalu membuatku jatuh cinta padanya. Senyum yang kini membuatku merinding.
"Kau benar, Bai Lian," bisiknya. "Aku selalu meremehkanmu. Tapi, tahukah kau, sayangku? Akulah yang memerintahkan mereka membunuhmu. Dan akulah yang memastikan kau kembali."
Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Karena hanya dengan begitu, aku bisa melihatmu lagi. Melihatmu membuktikan bahwa cinta sejati memang lebih kuat dari kematian. Dan sekarang, Bai Lian... permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai."
Dia pikir dia memegang kendali. Dia salah besar.
You Might Also Like: Top Pelukan Yang Mengantar Ke Akhir
Post a Comment