Bikin Penasaran: Takhta Yang Menyimpan Nama Yang Sama

Hujan pixel jatuh di layar. Lin, dengan jemari yang gemetar, menekan tombol 'kirim'. Chat itu menggantung, berputar-putar dalam pusaran koneksi yang sekarat. Di layar pipih itu, hanya tertulis: sedang mengetik... Entah berapa abad berlalu dalam jeda singkat itu.

Lin hidup di masa depan, ketika mentari memilih untuk tidur abadi dan bintang-bintang enggan berkedip. Langitnya adalah kanvas abu-abu yang membosankan, diwarnai oleh asap pabrik yang berjuang memompa oksigen palsu ke paru-paru penduduk. Di sini, cinta diukur dalam bandwidth dan kesepian berdering dalam notifikasi yang tak kunjung tiba.

Sementara itu, di masa lalu yang berkabut kenangan, Jian bergelut dengan tinta dan pena. Cahaya lilin menari-nari di wajahnya, menerangi lembaran lontar yang penuh dengan aksara kuno. Ia adalah seorang juru tulis istana, terperangkap dalam labirin intrik dan tradisi. Jian mencintai keheningan senja, suara burung pipit yang berkejaran di balik jendela, dan aroma melati yang meruap dari taman kerajaan.

Mereka terhubung melalui TAKHTA. Sebuah artefak kuno yang ditemukan Lin dalam reruntuhan kuil digital, sebuah mesin waktu-ruang yang terkubur dalam kode biner. Takhta itu, entah bagaimana, memancarkan sinyal yang membentang melintasi rentang waktu, menghubungkan Lin dengan Jian.

Awalnya, hanya gumaman asing, derau statis yang berubah menjadi kata-kata. Kemudian, percakapan panjang yang mencairkan kesunyian. Lin menceritakan tentang langit abu-abu, Jian tentang rembulan purnama. Mereka berbagi mimpi, ketakutan, dan sebuah nama yang sama: XING.

Mereka saling mencari, mencoba menjembatani jurang waktu. Lin, dengan usahanya yang sia-sia, mencoba mengirimkan koordinat GPS melalui takhta, berharap Jian bisa menavigasi masa lalu dan menemukan jalan ke masa depannya. Jian, dengan kesabarannya yang tak terbatas, menulis surat-surat yang ia sembunyikan di dalam Takhta, berharap pesan-pesan itu bisa menembus kegelapan masa depan dan menemukan Lin.

Namun, ada sesuatu yang aneh, sebuah keanehan dalam resonansi Takhta. Semakin dalam mereka menyelami hubungan mereka, semakin jelas bahwa kisah cinta mereka bukan sesuatu yang baru. Kata-kata yang mereka ucapkan, mimpi yang mereka impikan, bahkan nama "Xing" terasa seperti gema, seperti dejavu yang abadi.

Suatu malam, ketika Lin dan Jian berhasil melihat sekilas bayangan satu sama lain melalui fluktuasi energi Takhta, sebuah kebenaran MENGHANTUI terungkap. Takhta itu bukan hanya mesin waktu. Ia adalah REPLIKA kehidupan, SIMULASI yang tak pernah berhenti. Lin dan Jian bukanlah orang yang berbeda, tapi dua manifestasi dari jiwa yang sama, terperangkap dalam siklus waktu yang berulang, ABADI.

Cinta mereka, kerinduan mereka, pencarian mereka hanyalah skrip yang telah ditakdirkan untuk terus diputar, berulang-ulang, selama Takhta masih bernapas. Mereka adalah bayang-bayang dari "Xing" yang sebenarnya, yang entah bagaimana, terjebak dalam lingkaran waktu yang kejam.

Sebelum layar benar-benar padam, sebelum Jian menghilang dalam kilatan cahaya lilin, sebelum Lin tenggelam dalam kegelapan digital, ia mendengar bisikan terakhir dari Takhta:

Ingatlah, Xing, kau selalu mencintai dirimu sendiri, dalam setiap reinkarnasi yang TERKUTUK...

You Might Also Like: Inspirasi Pelembab Lokal Untuk Kulit

Post a Comment